RUANG KOSONG ITU
Gue enggak tau lagi sih mau cerita sama siapa selain sama allah dan melalui tulisan yang gue tulis ini. Gue menulis ini memang buat seseorang? so buat siapa?, ga perlu tau sih yang penting gue ingin menumpahkan segala apa yang ada di pikiran tanpa perlu orang itu harus tau langsung atau enggak sekalipun. Tepatnya pada saat orang itu datang dikehidupan gue pada saat gue lagi mumetnya sama tugas akhir, dia hadir lagi untuk kedua kalinya dalam kehidupan gue untuk yang kedua kalinya ini bukan sebagai "teman biasa" melainkan "pengisi ruang kosong".
Menyemangati gue dengan penuh hal positif, saling tukar pikiran satu sama lain, saling bercanda satu sama lain, suka ngebahas masa lalu"eh kenapa ya kita enggak dekat dari dulu aja" sering kali timbul pertanyaan seperti itu atau" kan kita dulu saling sibuk sama gengs masing-masing"atau"ah dulu juga kita jarang ngobrol apalagi bertegur sapa", yang lebih nyeseknya lagi"eh dulu kan kita dengan si ini dan si itu". Sebenernya emang kurang penting sih ketika lagi membahas topic tentang masa lalu karena pasti keluar kata-kata"kenapa ya" , "kenapa begitu ya", "andai aja" semuanya keluar dengan "rada bentuk penyesalan" kadangkala gue mikir sih itu semua diatur allah. Kenapa allah mengatur sedemikian rupa, karena allah mungkin memang pengen bikin skenario tidak terduga yang ga disangka-sangka yang jauhan bisa dekat begitu aja dengan"simpel".
Kita selalu mengandalkan dua hal sekaligus dalam bingkai "logika dan perasaan" kenapa dipakai keduanya agar nantinya utuh dan terasa penuh tanpa ada jeda kosong lagi. dengan seseorang itu gue jadi merasa "lebih apa adanya", "terbuka dalam menyampaikan pikiran gue walaupun enggak semuanya. Begitu pula seseorang itu, gue masih ingat aja "dia pernah lempar gue pakai gulungan kertas yang sebenarnya tujuannya mau dilempar ke teman yang duduknya dibelakang gue, alhasil karena teman gue nunduk malah gue yang kena" konyol emang dan seseorang itu malah ga minta maaf. ( lucu sih dan dalam hati gue bilang"dasar ga berperasaan" gue enggak nyangka orang itu mengisi ruang kosong). Mungkin seseorang itu enggak akan inget atas apa yang dia lakukan, selain itu juga pernah gue mengajar dia latihan nari ( gue rasa dia benar-benar ga inget sih tapi kalau buktinya ada salah satu teman gue yang videoin di blognya teman gue sempat masukkin, asli ngakaks sih). Jujur gue enggak punya banyak moment sama orang itu di masa lalu karena kita sibuk dengan dunia masing-masing.
Dan sampai dimana gue mulai dekat sama seseorang itu lagi, dengan dukungan penuh dari sosok"mama" gue enggak ngerti kalau mama gue bisa langsung senang sama seseorang itu cuma karena orang itu udah kenal lama sama gue. Padahal gue suka bilang "mah dia anaknya nakal, cuma ya pendiam gitu sih ga banyak omong, dia juga ga suka membaca apalagi menulis kaya aku, lagi-lagi mah dia hobi duduk dipojokkan sambil mukanya ditutupin buka pelajaran terus tidur". Kadangkala se-bersikeras apapun kita ga akan ada yang tau hatinya manusia, mama malah makin senang dan bilang" kan dulu kalo sekarang pasti pikirannya udah beda, udah kedepan"Entah apalagi yang ada dibenak mama sampai se-senang itu padahal belum ketemu wujud orangnya langsung ( sebegitu mencintainya emak gue terhadap lu).
Setelah hal itu ada satu moment yang memang sudah dirancang sama allah diluar kehendak gue sendiri. Gue sakit dan drop kelar bikin tugas akhir, dan gue harus dirawat di rs selama seminggu. Orang yang enggak gue sangka-sangka yang ada dalam pikiran gue"ah paling dia enggak akan jenguk", "lagian gue bukan siapa-siapanya dia", " gue juga ga akan dipeduliin kan dia sibuk", "lagian dia juga belum tentu bisa jenguk gue" terakhir pikiran gue " ah gakkan bisa sih". Tapi nyatanya orang itu datang dan kasih seluruh perhatiannya ke gue ( please ndah jangan baperrr baru juga segitu) lagi-lagi gue menahan hati sih. Disaat itu mama makin senang "makin dapat angin" makin bisa ngorek-ngorek seputar diri gue dan orang itu.
Makin "berapi-api " semua hal yang terjadi antara gue dan orang itu. Pas gue lulus kuliah tepatnya pas kelar sidang sih, orang itu mengungkapkan kebimbangannya dia tentang perasaannya, tentang masa depannya, tentang pilihan hidupnya dan prinsipnya yang bisa dibilang"konsisten". Pada saat itu emang kebetulan dia yang lebih banyak ngomong, disaat itu gue bahkan enggak bisa ngomong yang sejernih mungkin untuk berfikir dan menanggapi dengan bijak tentang"kami". Gue cuma bisa dengerin dia ngomong dari awal sampai akhir dan finally dia mengizinkan gue menjawab gue cuma bilang " jangan jadiin gue beban dalam hidupnya dia". Lagi-lagi gue bilang "gue ga pengen ada yang menunggu dan ditunggu" ( pada saat itu memang gue hanya memikirkan pikiran dia, perasaan dia, memposisikan menjadi dia). Gue cuma nepuk pundak gue sendiri dan bilang ke diri sendiri" coba posisin jadi diri dia, itu enggak gampang, itu enggak mudah".
Nyatanya omongan dan segala bentuk pikiran yang udah dia sampaikan dan gue merasa respons gue enggak pas, enggak tepat dan gue merasa itu cuma bagian dari" gue memposisikan sebagai diri seseorang itu". Akhirnya gue kembali membicarakan hal yang sudah dia bicarakan sebelumnya dan gue merespons kembali dengan panjang lebar intinya gue bilang" kita masih muda, masih butuh banyak belajar, masih pengen ini dan itu, masih berjuang satu sama lain, gue enggak pengen menunggu dan ditunggu karena gue tau itu sakit dan gue rasa orang itu paham dengan apa yang ada dipikiran gue saat itu". Satu lagi tujuan utama kami "bahagian orang tua" kalau bahas orang tua pasti bawaanya haru aja. Gue enggak nyangka sebegitu dalamnya gue terhadap orang itu.
Sehingga gue menempatkan orang tersebut " dititik terkonsisten awal gue" yang sebelumnya gue mungkin belum bisa jadi pribadi yang "konsisten" yang masih suka plin-plan, yang masih suka berubah dalam menentukan keputusan atau sebuah hal detik itu juga gue "makin konsisten terhadap ruang kosong tersebut". Kadangkala ketika udah berujung konsisten makin kesini allah makin nguji up-down kehidupan gue" gue makin enggak pengen melibatkan orang tersebut dalam kesusahan gue", meski sebenernya jauh dalam lubuk hati gue, sangat amat yakin " dia ngerti posisi gue untuk saat sekarang ini". Dia biarkan gue terjun bebas dengan apa yang ada dipikiran dan hati gue " dia juga tarik ulur semuanya". Jadi dia sengaja ngebiarin gue gitu aja tapi kalau gue udah patah banget dia datang buat kasih "wejangan" dan ibaratnya" gue emang enggak merhatiin lu secara dekat kelihatannya tapi diam-diam gue sejujurnya benar-benar merhatiin". gue bahkan bilang" tanpa gue kasih tau ke lu, kayanya lu paham dengan keadaan gue" dia cuma ketawa aja.
Ujian gue makin bertubi dengan keadaan gue saat ini, dia tarik ulur gue lagi. Dengan hilang timbul begitu. Gue cuma bilang ke diri sendiri" mungkin dia sibuk, mungkin dia focus sama pendidikannya, mungkin dia emang butuh waktu, mungkin dia emang lagi ingin senang-senang dulu aja, makin kesini lagi mungkin dia udah menemukan yang "pas".
Beberapa minggu yang lalu gue sempat tukar pikiran ke dia, gue mengajukan beberapa pertanyaan seputar
1. pencapaian kehidupan
2. sosok ayah menurut dia
3. apa yang akan dia kasih ke ibu tercintanya ketika sukses
4. terakhir ini berat dia pasti kuat ( gue bahas tentang pasangan hidup yang dia butuhkan bukan yang diinginkan).
Dia selalu kasih jawaban yang memuaskan yang bikin gue" terkagum -kagum" sebenarnya jawabannya sederhana banget dan mudah dicerna " gue mungkin bisa merasa klop karena dia menempati "kategori sederhana".
Gue tau sih saat ini dia masih suka lirik sana sini. ya namanya juga anak muda masih liat sana sini. Gue juga mencoba memakhlumi akan hal itu. Tapi acapkali gue menepis rasa ego dan pikiran negatif gue terhadapnya. Makin kesini makin gue curhatin dia ke allah, makin gue kunci dia di sisi" ruang kosong itu" gue biarin gitu aja sampai gue berharap "ga akan ada orang baru yang bisa menemukan kunci ruang kosong itu atau ada yang berani menerobos ruang kosong itu". Lagi-lagi gue kasih "tempat private" yang dimana ga ada satupun yang bakal ganggu akal " pikiran kami".
Kadangkala kita berdua suka "ngerasa minder satu sama lain" tentang kualitas perjalanan hidup masing-masing, Jujur gue enggak suka saat dia bilang gue "lebih pinter, lebih ceria, lebih pintar ngomong dibanding dia". dia harus tau gue selalu berharap dalam hati bahwa " kualitas hidup dia lebih segala-galanya dibandung gue, dia harus lebih mapan dari gue, ilmunya, lucunya, kebaikkan, kesuksesannya gue harap dia selalu lebih dari gue AMIN. Gue selalu berharap dia lebih segala-galanya dibanding gue , dia enggak tau sebegitu bersyukurnya gue dalam hati kalau itu terjadi. Dan sampai saat ini gue juga belum berani ngomong hal itu langsung kepada orangnya.
Kita selalu mengandalkan dua hal sekaligus dalam bingkai "logika dan perasaan" kenapa dipakai keduanya agar nantinya utuh dan terasa penuh tanpa ada jeda kosong lagi. dengan seseorang itu gue jadi merasa "lebih apa adanya", "terbuka dalam menyampaikan pikiran gue walaupun enggak semuanya. Begitu pula seseorang itu, gue masih ingat aja "dia pernah lempar gue pakai gulungan kertas yang sebenarnya tujuannya mau dilempar ke teman yang duduknya dibelakang gue, alhasil karena teman gue nunduk malah gue yang kena" konyol emang dan seseorang itu malah ga minta maaf. ( lucu sih dan dalam hati gue bilang"dasar ga berperasaan" gue enggak nyangka orang itu mengisi ruang kosong). Mungkin seseorang itu enggak akan inget atas apa yang dia lakukan, selain itu juga pernah gue mengajar dia latihan nari ( gue rasa dia benar-benar ga inget sih tapi kalau buktinya ada salah satu teman gue yang videoin di blognya teman gue sempat masukkin, asli ngakaks sih). Jujur gue enggak punya banyak moment sama orang itu di masa lalu karena kita sibuk dengan dunia masing-masing.
Dan sampai dimana gue mulai dekat sama seseorang itu lagi, dengan dukungan penuh dari sosok"mama" gue enggak ngerti kalau mama gue bisa langsung senang sama seseorang itu cuma karena orang itu udah kenal lama sama gue. Padahal gue suka bilang "mah dia anaknya nakal, cuma ya pendiam gitu sih ga banyak omong, dia juga ga suka membaca apalagi menulis kaya aku, lagi-lagi mah dia hobi duduk dipojokkan sambil mukanya ditutupin buka pelajaran terus tidur". Kadangkala se-bersikeras apapun kita ga akan ada yang tau hatinya manusia, mama malah makin senang dan bilang" kan dulu kalo sekarang pasti pikirannya udah beda, udah kedepan"Entah apalagi yang ada dibenak mama sampai se-senang itu padahal belum ketemu wujud orangnya langsung ( sebegitu mencintainya emak gue terhadap lu).
Setelah hal itu ada satu moment yang memang sudah dirancang sama allah diluar kehendak gue sendiri. Gue sakit dan drop kelar bikin tugas akhir, dan gue harus dirawat di rs selama seminggu. Orang yang enggak gue sangka-sangka yang ada dalam pikiran gue"ah paling dia enggak akan jenguk", "lagian gue bukan siapa-siapanya dia", " gue juga ga akan dipeduliin kan dia sibuk", "lagian dia juga belum tentu bisa jenguk gue" terakhir pikiran gue " ah gakkan bisa sih". Tapi nyatanya orang itu datang dan kasih seluruh perhatiannya ke gue ( please ndah jangan baperrr baru juga segitu) lagi-lagi gue menahan hati sih. Disaat itu mama makin senang "makin dapat angin" makin bisa ngorek-ngorek seputar diri gue dan orang itu.
Makin "berapi-api " semua hal yang terjadi antara gue dan orang itu. Pas gue lulus kuliah tepatnya pas kelar sidang sih, orang itu mengungkapkan kebimbangannya dia tentang perasaannya, tentang masa depannya, tentang pilihan hidupnya dan prinsipnya yang bisa dibilang"konsisten". Pada saat itu emang kebetulan dia yang lebih banyak ngomong, disaat itu gue bahkan enggak bisa ngomong yang sejernih mungkin untuk berfikir dan menanggapi dengan bijak tentang"kami". Gue cuma bisa dengerin dia ngomong dari awal sampai akhir dan finally dia mengizinkan gue menjawab gue cuma bilang " jangan jadiin gue beban dalam hidupnya dia". Lagi-lagi gue bilang "gue ga pengen ada yang menunggu dan ditunggu" ( pada saat itu memang gue hanya memikirkan pikiran dia, perasaan dia, memposisikan menjadi dia). Gue cuma nepuk pundak gue sendiri dan bilang ke diri sendiri" coba posisin jadi diri dia, itu enggak gampang, itu enggak mudah".
Nyatanya omongan dan segala bentuk pikiran yang udah dia sampaikan dan gue merasa respons gue enggak pas, enggak tepat dan gue merasa itu cuma bagian dari" gue memposisikan sebagai diri seseorang itu". Akhirnya gue kembali membicarakan hal yang sudah dia bicarakan sebelumnya dan gue merespons kembali dengan panjang lebar intinya gue bilang" kita masih muda, masih butuh banyak belajar, masih pengen ini dan itu, masih berjuang satu sama lain, gue enggak pengen menunggu dan ditunggu karena gue tau itu sakit dan gue rasa orang itu paham dengan apa yang ada dipikiran gue saat itu". Satu lagi tujuan utama kami "bahagian orang tua" kalau bahas orang tua pasti bawaanya haru aja. Gue enggak nyangka sebegitu dalamnya gue terhadap orang itu.
Sehingga gue menempatkan orang tersebut " dititik terkonsisten awal gue" yang sebelumnya gue mungkin belum bisa jadi pribadi yang "konsisten" yang masih suka plin-plan, yang masih suka berubah dalam menentukan keputusan atau sebuah hal detik itu juga gue "makin konsisten terhadap ruang kosong tersebut". Kadangkala ketika udah berujung konsisten makin kesini allah makin nguji up-down kehidupan gue" gue makin enggak pengen melibatkan orang tersebut dalam kesusahan gue", meski sebenernya jauh dalam lubuk hati gue, sangat amat yakin " dia ngerti posisi gue untuk saat sekarang ini". Dia biarkan gue terjun bebas dengan apa yang ada dipikiran dan hati gue " dia juga tarik ulur semuanya". Jadi dia sengaja ngebiarin gue gitu aja tapi kalau gue udah patah banget dia datang buat kasih "wejangan" dan ibaratnya" gue emang enggak merhatiin lu secara dekat kelihatannya tapi diam-diam gue sejujurnya benar-benar merhatiin". gue bahkan bilang" tanpa gue kasih tau ke lu, kayanya lu paham dengan keadaan gue" dia cuma ketawa aja.
Ujian gue makin bertubi dengan keadaan gue saat ini, dia tarik ulur gue lagi. Dengan hilang timbul begitu. Gue cuma bilang ke diri sendiri" mungkin dia sibuk, mungkin dia focus sama pendidikannya, mungkin dia emang butuh waktu, mungkin dia emang lagi ingin senang-senang dulu aja, makin kesini lagi mungkin dia udah menemukan yang "pas".
Beberapa minggu yang lalu gue sempat tukar pikiran ke dia, gue mengajukan beberapa pertanyaan seputar
1. pencapaian kehidupan
2. sosok ayah menurut dia
3. apa yang akan dia kasih ke ibu tercintanya ketika sukses
4. terakhir ini berat dia pasti kuat ( gue bahas tentang pasangan hidup yang dia butuhkan bukan yang diinginkan).
Dia selalu kasih jawaban yang memuaskan yang bikin gue" terkagum -kagum" sebenarnya jawabannya sederhana banget dan mudah dicerna " gue mungkin bisa merasa klop karena dia menempati "kategori sederhana".
Gue tau sih saat ini dia masih suka lirik sana sini. ya namanya juga anak muda masih liat sana sini. Gue juga mencoba memakhlumi akan hal itu. Tapi acapkali gue menepis rasa ego dan pikiran negatif gue terhadapnya. Makin kesini makin gue curhatin dia ke allah, makin gue kunci dia di sisi" ruang kosong itu" gue biarin gitu aja sampai gue berharap "ga akan ada orang baru yang bisa menemukan kunci ruang kosong itu atau ada yang berani menerobos ruang kosong itu". Lagi-lagi gue kasih "tempat private" yang dimana ga ada satupun yang bakal ganggu akal " pikiran kami".
Kadangkala kita berdua suka "ngerasa minder satu sama lain" tentang kualitas perjalanan hidup masing-masing, Jujur gue enggak suka saat dia bilang gue "lebih pinter, lebih ceria, lebih pintar ngomong dibanding dia". dia harus tau gue selalu berharap dalam hati bahwa " kualitas hidup dia lebih segala-galanya dibandung gue, dia harus lebih mapan dari gue, ilmunya, lucunya, kebaikkan, kesuksesannya gue harap dia selalu lebih dari gue AMIN. Gue selalu berharap dia lebih segala-galanya dibanding gue , dia enggak tau sebegitu bersyukurnya gue dalam hati kalau itu terjadi. Dan sampai saat ini gue juga belum berani ngomong hal itu langsung kepada orangnya.
Komentar
Posting Komentar