Ternyata Mentalku Tak Setempe Itu
Setiap pulang dari kantor atau menuju kampus untuk berkuliah, diperjalanan ada saja yang aku pikirkan sepanjang jalan menuju kesana. Melihat tingkah laku orang-orang sekitar, jalanan ibukota, gedung perkantoran nan megah, pengamen jalanan, bapak dan anaknya yang begitu saling menyayangi di dalam kereta, ibu yang ketiduran sambil memangku anaknya, pejuang ldr yang sesekali bertemu walau sebentar lalu berpisah diantara koridor stasiun. lelah, iya benar-benar amat lelah. Bersyukurnya mereka masih bisa bertatap muka saling berdekatan satu sama lain. Lalu aku bagaimana? kadangkala aku hanya memandangi layar hp. Lalu ku buka galeri yang berisi ribuan fotoku bersama orang-orang yang kusayangi. Aku masih ingat tanggal terakhir kali aku berfoto. Karena tak selalu bertatap muka, maka sekali bertemu aku bisa berfoto berkali-kali bersama orang-orang terkasih.
Ingin pulang saja rasanya. Iya, ingin pulang saja. setelah turun dari kereta disepanjang area stasiun menuju musala untuk melakukan solat magrib. Aku melihat kembali jam di layar hp. Sudah petang saja, waktuku sangat terbatas sekali disini. Mengingat tentang keterbatasan waktu. Akhirnya aku menyadari aku manusia biasa yang tak mungkin bisa melakukan segalanya bahkan melampaui batas. Melakukan segala hal dalam satu waktu, mengerjakan ini dan itu dalam satu waktu.
Sesampai di dalam kos pun aku masih memikirkan banyak hal. Rasanya enak sekali ya, bekerja di daerah sendiri, lalu ketika pulang di rumah ada kedua orang tua yang menjadi pelukan hangat, ada tawa adik-adik yang kadang juga bisa menjadi bahan pemicu perdebatan dan hidangan makanan yang sudah tersedia. Sayangnya aku tak berada diposisi itu. Sesampai di kamarpun aku masih melihat layar hp dan mencoba menelpon orang-orang yang aku sayangi hanya sekedar mengatakan aku sudah berada di kos. Hanya untuk itu saja. Kadangkala telfon dari merekapun tak jarang tak terangkat olehku. Dikarenakan rutinitas yang begitu menyita waktu. Sudah beberapa hari ini aku berada dititik merindu. Sekali lagi aku kadang ingin menyerah namun petarung tak mungkin kalah sebelum sampai pada titik akhir tujuanku. Bisa saja aku memilih pulang jika tak kuat dengan ibukota, atau bisa saja aku mengeluh ke semua orang tentang lelahnya rutinitas, menangis tersedu-sedu lalu ingin menyudahi segalanya. Ternyata mentalku tak setempe itu.
Komentar
Posting Komentar